MOROWALI – SATUAN Tugas Penyelesaian Konflik Agraria (Satgas PKA) Sulawesi Tengah melakukan kunjungan lapangan ke Desa Torete dan Buleleng, Kecamatan Bungku Pesisir, Kabupaten Morowali, pada Senin, 8 Desember 2025. Kunjungan ini merupakan tindak lanjut dari pengaduan warga Desa Torete mengenai hak-hak keperdataan dan penguasaan tanah desa oleh PT Teknik Alum Service (PT TAS). Pengaduan tersebut sebelumnya disampaikan di Kantor Dinas Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Sulteng pada Selasa, 25 November 2025.
Peninjauan Kawasan Mangrove dan Proyek Smelter
Ketua Satgas PKA Sulteng, Eva Susanti Bande, didampingi Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan, Arief Latjuba, Kepala Dinas Perhubungan, Sumarno, dan sejumlah pejabat terkait, mendatangi kawasan hutan mangrove di pantai Torete. Kawasan ini sedang dialihfungsikan menjadi kawasan industri untuk pembangunan smelter.
Di lokasi, tim menyaksikan puluhan alat berat dan truk bertonase besar telah menimbun sebagian kawasan pantai yang merupakan ekosistem mangrove dengan tumbuhan dominan bakau dan nipah. Di sini, Tim Satgas menerbangkan drone dan mengambil foto udara di atas proyek yang sedang berjalan.
Objek peninjauan selanjutnya adalah kawasan pembangunan terminal khusus (tersus) yang berdekatan dengan lokasi smelter. Di tempat ini, Tim Satgas mendapati sedimentasi yang sangat masif di area tumbuh mangrove. Pasir pantai terlihat berubah warna menjadi cokelat tanah, dan aliran air terdesak akibat tingginya sedimentasi dari aktivitas penimbunan.
Menyaksikan pembabatan mangrove dan tingginya sedimentasi, pejabat dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Sulteng, Baso Nur Ali, menyuarakan kekhawatiran. Ia menegaskan bahwa jika sedimentasi terus terjadi, pohon bakau akan mati.
“Bakau itu bernafas dari akarnya. Kalau seperti ini situasinya, ekosistemnya akan musnah,” ungkap Baso, yang mengaku telah lama menyuarakan keprihatinan ini.
Di kedua lokasi tersebut, Tim Satgas mengambil titik koordinat dan foto udara. Menurut Sekretaris PKA Sulteng, Apditya Sutomo, data koordinat ini akan di-overlay dengan dokumen Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (PKKPR) dan Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) untuk tersus di Desa Buleleng dan Torete. Tersus ini rencananya akan digunakan bersama oleh lima perusahaan.
Selain pengambilan koordinat, DLH Sulteng juga menerjunkan tiga petugas untuk mengambil sampel air. Pengambilan sampel ini bertujuan menguji kualitas air di sekitar proyek, mengingat warga Torete juga mengeluhkan penurunan kualitas air di lingkungan mereka.
Ketua Satgas, Eva Bande, secara tegas meminta PT TAS untuk menyiapkan semua dokumen Amdal yang terkait dengan kegiatan perusahaan, khususnya kajian lingkungan mengenai peralihan fungsi lahan mangrove menjadi tersus.
” Saudara siapkan semua dokumen yang terkait dengan aktivitas Saudara di sini. Nanti kita lihat sama-sama,” ujar Eva kepada perwakilan PT TAS.
Konflik Hak Guna Bangunan (HGB) dan Lahan Warga
Setelah meninjau tersus dan hutan mangrove, Tim Satgas melanjutkan peninjauan ke lahan warga yang kini berada di dalam kawasan Hak Guna Bangunan (HGB) PT TAS. Sedikitnya 18 warga yang lahannya diklaim HGB perusahaan turut mendampingi tim.
Warga menunjukkan lahan dan tanaman produktif mereka yang hanya dikompensasi sebesar Rp10 ribu per meter persegi oleh perusahaan. Nilai ini dinilai tidak manusiawi dan tidak sesuai dengan nilai tanaman yang tumbuh di atas lahan mereka.
Yunus, pemilik lahan seluas 1,7 hektar, mengaku hidupnya bergantung pada tanaman produktif seperti pala dan palawija yang tumbuh di lahannya. Ia merasa tidak jelas akan ke mana setelah klaim PT TAS ini. Oleh karena itu, ia bersikeras agar nilai kompensasi disesuaikan dengan potensi tanaman yang ada.
Suara yang sama disampaikan Jamilah, pemilik 2,5 hektar lahan yang ditumbuhi pala, kelapa, dan berbagai buah-buahan. Ia mendesak perusahaan untuk meninggalkan lahannya jika nilai kompensasi yang ditawarkan tetap Rp10 ribu per meter persegi.
“Ini tidak manusiawi. Kami kehilangan hak kami selama-lamanya, tapi uang gantinya sedikit,” ujar Jamilah dengan nada tinggi.
Saat ini, di atas lahan warga yang masuk dalam HGB PT TAS, warga masih bisa mengolah hasil kebunnya. Bagi warga Torete, sekalipun hasil kebun masih bisa dinikmati tapi perampasan ruang hidup yang mereka alami tidak bisa dibiarkan.
‘’Kami masih bisa ambil hasil kebun kami di lokasi HGB. Tapi perusahaan merampas ruang hidup kami di sini,’’ ujar Rina Miharja, dari Asosiasi Masyarakat Torete Bersatu – organ perlawanan yang dibentuk warga desa setempat.
Tindak Lanjut Rapat dengan PT TAS
Divisi Advokasi Satgas PKA Sulteng, Noval Saputra, mengonfirmasi bahwa Tim Satgas bersama Organisasi Perangkat Daerah (OPD) teknis akan menggelar rapat dengan PT TAS pada keesokan harinya, Selasa, 9 Desember 2025, di Kantor Bupati Morowali di Kota Bungku. Rapat ini juga akan melibatkan OPD teknis Kabupaten Morowali.
“Agendanya adalah untuk melihat kelengkapan dokumen PT TAS dan menyampaikan keberatan warga soal nilai kompensasi yang dianggap tidak wajar,” pungkas Noval.

















