Oleh : Fhirman Lapi
OPINI : Pemungutan Suara Ulang (PSU) bukan sekadar peristiwa demokrasi tambahan; ia adalah pertanda bahwa ada cacat serius dalam pelaksanaan pemilu. Di balik jargon “menjaga integritas”, PSU meninggalkan jejak kerugian yang nyata — terhadap masyarakat, terhadap kepercayaan publik, dan terutama terhadap keuangan daerah.
Di banyak daerah, penyelenggaraan PSU menuntut biaya besar. Anggaran yang sebelumnya dialokasikan untuk pelayanan publik seperti pendidikan, kesehatan, dan pembangunan infrastruktur, terpaksa dialihkan demi membiayai pengulangan proses yang seharusnya bisa dihindari. Biaya logistik, honor petugas, distribusi surat suara, hingga pengamanan aparat, semuanya ditanggung dari uang rakyat. Ironis, karena masyarakat justru harus membayar dua kali untuk sebuah hak yang seharusnya dijamin secara adil sejak awal.
Tidak berhenti di situ, masyarakat juga mengalami kerugian sosial. Kelelahan politik akibat berulangnya tahapan kampanye dan pencoblosan menyebabkan kejenuhan. Partisipasi menurun, rasa percaya luntur. Polarisasi antar warga semakin tajam, menggerus harmoni sosial yang dibangun bertahun-tahun.
Lebih jauh lagi, PSU mencoreng wajah demokrasi daerah. Ia menunjukkan bahwa sistem belum cukup kuat untuk memastikan proses pemilu yang bersih dan adil. Setiap rupiah yang terbuang untuk membiayai PSU adalah cermin dari lemahnya pengawasan, lemahnya integritas penyelenggara, dan lemahnya penegakan hukum pemilu.
Oleh karena itu, PSU seharusnya menjadi pelajaran mahal: bahwa kesalahan dalam demokrasi bukan hanya beban prosedural, tetapi beban moral, sosial, dan ekonomi yang dipikul seluruh masyarakat. Tanpa reformasi serius dalam tata kelola pemilu, kita hanya akan terus mengulangi lingkaran boros dan frustrasi ini.
Demokrasi yang sehat adalah demokrasi yang tidak harus dibayar dua kali.