PALU – Belakangan ini, muncul wacana untuk melibatkan perguruan tinggi dalam pengelolaan tambang, yang baru-baru ini mendapat dukungan dari beberapa pihak di DPR. Namun, hal ini menimbulkan keprihatinan yang mendalam di kalangan akademisi dan masyarakat. Perguruan tinggi, yang seharusnya menjadi lembaga yang fokus pada pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat, kini terancam terjerumus dalam ranah bisnis yang bertentangan dengan tujuan utamanya, yaitu mencerdaskan bangsa dan mendorong kemajuan sosial yang berkelanjutan.
Sebagai lembaga pendidikan, perguruan tinggi mestinya berperan sebagai pengawas yang objektif terhadap dampak yang dihasilkan oleh industri pertambangan. Tugas perguruan tinggi adalah melakukan penelitian mengenai dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan yang timbul dari aktivitas pertambangan, serta memberikan rekomendasi berbasis data ilmiah yang dapat membantu kebijakan yang lebih baik. Perguruan tinggi tidak seharusnya terlibat langsung dalam pengelolaan bisnis tambang, yang dapat menimbulkan potensi konflik kepentingan dan merusak independensinya sebagai lembaga pendidikan.
Di Sulawesi Tengah, misalnya, kita sudah melihat dengan jelas dampak negatif yang ditimbulkan oleh aktivitas pertambangan, seperti kerusakan lingkungan yang masif dan dampak sosial yang mengancam kehidupan masyarakat sekitar. Bukankah ini menjadi tugas utama perguruan tinggi untuk mengawal dan memberikan solusi atas masalah-masalah ini melalui riset dan pengawasan yang objektif? Mengikutsertakan perguruan tinggi dalam bisnis pertambangan justru akan memperburuk keadaan dan merusak integritas akademik yang seharusnya menjadi landasan utama lembaga pendidikan.
Perguruan tinggi seharusnya tetap menjadi garda terdepan dalam memberikan solusi ilmiah atas permasalahan yang timbul akibat industri pertambangan. Alih-alih terlibat langsung dalam pengelolaan tambang, perguruan tinggi harus memperkuat kapasitas riset dan pengawasan terhadap dampak sosial dan lingkungan yang ditimbulkan. Inilah yang lebih sesuai dengan fungsi dan tanggung jawab perguruan tinggi sebagai lembaga yang berfokus pada pendidikan dan penelitian.
Pernyataan Asrar, Sekretaris Bidang Perguruan Tinggi dan Kepemudaan HMI Komisariat FISIP
Asrar mahasiswa Universitas Tadulako dengan tegas menolak keterlibatan perguruan tinggi dalam pengelolaan tambang yang sedang dibahas di DPR. Saya menilai alasan untuk mempermudah sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT) mahasiswa dengan melibatkan perguruan tinggi dalam bisnis tambang adalah alasan yang tidak masuk akal.
Seharusnya, untuk membantu mahasiswa dalam hal UKT, perguruan tinggi dapat memanfaatkan dana dari Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan tambang, bukan justru mendorong akademisi terlibat langsung dalam bisnis yang berpotensi merusak prinsip-prinsip tridarma perguruan tinggi.
Perguruan tinggi harus tetap fokus pada pengawasan terhadap dampak pertambangan, bukan ikut serta dalam pengelolaan bisnisnya. Fokus utama kampus harusnya tetap pada pencerdasan bangsa dan pemberdayaan masyarakat melalui pendidikan dan penelitian yang independen.
” Kita tidak bisa membiarkan akademisi terjerumus dalam dunia bisnis yang seringkali mengabaikan aspek sosial dan lingkungan demi keuntungan semata. Hal ini berisiko mengurangi kredibilitas perguruan tinggi sebagai lembaga yang seharusnya menjadi agen perubahan yang objektif dan berintegritas,” tutup Asrar.